Perjalanan Menuju Dunia Tasawuf

- January 08, 2007
Taha A. Baqi Surur

Tasawuf Islam terbagi menjadi dua bagian. Pertama, berkaitan dengan pemeliharaan dan pembersihan jiwa. Berhias dengan budi yang luhur lagi sempurna. Dalam bahasa istilah disebut Ilmu Mu'amalah.
Pada bagian ini menjadi titik pusat akhlak dan ilmu ruhani, bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa, orang-orang sufi adalah guru besar ilmu ruhani di dunia ini, Mereka benar-benar memahami dan mendalami penyakit ruhani serta pemusnahnya, sehingga berhasil menyingkap hijab (tabir) penutup ruhani.
Sekalipun Eropa telah menggunakan peralatan moderen di dalam ilmu jiwanya, dan di bawah teori-teorinya berhasil membuka ikatan-ikatan jiwa, akan tetapi masih saja tidak mampu mengentasnya dari kebodohan bertingkat atau berganda. Berbeda dengan orang-orang sufi yang telah menemukan sesuatu yang lebih mengagumkan dalam persoalan ruhani mereka. Mereka berhasil menggapai pengetahuan yang sempurna. Mereka bawa terbang tinggi menerobos medan cahaya yang bersinar terang, menuju fithrah serta teladan yang membangkitkan kemanusiaan yang mulia nan suci, yang tidak mengenal pertikaian dan saling mencela, tidak mengenal dnegki, marah, dan permusuhan, tidak pula mengenal kefasikan, perdebatan dan dekadensi moral.

Kedua, berkaitan dengan penggemblengan ruhani, ibadah dan mahabbah (cinta), beserta segala aktifitasa yang ada dalam ibadah dan mahabbah. Yaitu pribadi yang bersih bersinar, munculnya ilham dan anugerah Ilahi.
Dalam meneliti bagian kedua ini ada beberapa syarat. Syarat utama ialah mendalami al-Quran dan as-Sunnah. Ia disebut Thariq (jalan) dan terdiri dari empat perjalanan.
1. Perjalanan gerak (amaliah) lahir, yaitu perjalanan ibadah dan berpaling dari gemerlap dunia. Membersihkan diri dari daya tarik dunia. Menyendiri (uzlah) untuk beribadah, dzikir dan istighfar serta selalu melaksanakan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya.
2. Perjalanan amaliah batin dan senantiasa menelitinya, dengan memurnikan akhlak, menyucikan hati, menyucikan ruh, mengintai dan menekan nafsu, berhias dengan akhlak dan sifat-sifat yang suci serta perilaku yang senantiasa memancar dari Nur Muhammad.
3. Perjalanan penggemblengan dan training jiwa. Dalam hal ini Rasulullah pernah memberikan ilustrasi dalam sabdanya, "Kita telah kembali dari jihad kecil, menuju jihad akbar." Dengan ujian yang akbar ini, kekuatan dan kekuasaan ruh akan semakin bertambah. Jiwa lalu memisah dari debu-debu, menjadikannya bersih murni, hingga hakikat dan rahasia alam terpateri di dalamnya. Cahaya Ilahi memancar di dalam hatinya. Nampak keindahan dan kebesaran alam, kehalusan dan rahasianya. Dengan demikian bangkitlah rasa, yang kemudian membentuk gerak hidup dalam indera yang umum, yang dapat merasakan kelezatan yang tinggi. Ilmu yang cemerlang di dalam jiwa ini lalu menjadi sifat yang tetap, berikut terbukanya tabir penutup secara sedikit demi sedikit sehingga sampailah keoada ridha dan cahaya utama.
4. Perjalanan menuju fana yang sempurna. Yaitu dengan sampainya ruh kepada tingkat menyaksikan Allah dengan sebenarnya. Terbuka (kasyaf)nya alam yang samar dan rahasia-rahasia Allah. Kemudian silih berganti muncul cahaya dan terbukanya tabir, hingga kelezatan jiwa dengan ketenteraman. Puncaknya adalah bayangan suci di hadapan Ilahi.
Perjalanan-perjalanan spiritual itu tidak dapat di tulis atau diceritakan, karena berada di luar bayangan dan fantasi manusia, di alam mana Allah SWT Maha Agung dan tercinta dapat dilihat mata hati. Benar-benar pemandangan yang di luar kerja mata wadak. Tiada pernah didengar oleh telinga dan tidak sekalipun terbersit di dalam sanubari.
Perjalanan ini merupakan perjalanan yang sangat berbahaya. Pernah seorang sufi kehilangan keseimbangannya, kehilangan ingatan, dan akhirnya terjerumus kepada kondisi yang memang sudah menjadi suratan takdir.
Adapun bagi mereka yang telah sampai dan berhasil bertahan di sana. Sungguh dia telah memperoleh kemantapan beribadah, penyaksian yang luhur, kenyenyakan yang melelapkan jiwa, tenteram dan menguasai alam.
Sahal bekata, "Seseorang yang berhasil menemukan jati dirinya, adalah orang yang salat di tempat terbuka. Ketika selesai dari salatnya, bubarlah pula bersamanya beribu-ribu malaikat yang ia saksikan."
Sementara Ibnu Abqari mengatakan, "Seseorang yang benar-benar menemukan jati dirinya, adalah orang yang salat di tempat terbuka. Begitu bubar dari salatnya, tidak satupun malaikat yang mengikuti orang tersebut, karena tidak tahu kemana perginya."
(Posting: Ali Abidin Date: Thu, 5 Aug 1999