Belajar dari Bali (Puja Mandala: Miniatur Kerukunan Beragama)

- February 23, 2017

Belajar dari Bali
Puja Mandala: Miniatur Kerukunan Beragama


Oleh:
Wiratno
Pengurus FKUB Kab. Sleman

Kerukunan umat beragama menurut FKUB (Forum Kurukunan Umat Beragama) Kab. Sleman dimana penulis menjadi salah satu pegiatnya, dapat digolongkan menjadi 2 (dua) makna, pertama adalah kerukunan antar umat beragama dan kedua adalah kerukunan intern agama. Kerukunan antar umat beragama menjadi domain FKUB sedangkan kerukunan intern agama menjadi domain wadah organisasi masing-masing agama yang ada di Indonesia, sebagai contoh untuk kerukunan intern agama Islam ada wadah yang bernama MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang merupakan organisasi yang menaungi semua ormas keagamaan Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhamadiyah, Persis, PSI dan lain-lainnya. Kemudian di agama Kristen ada PGI untuk menaungi umat kristiani dan gereja-geraja seluruh Indonesia, begitu juga dengan Parisade Hindu Dharma maupun Walubi untuk agama Hindu dan Budha.

Dalam rangka belajar tentang kerukunan umat beragama tersebut, penulis tempo hari 23-25 November 2015 selama 2 hari 1 malam berkunjung ke Bali bersama dengan keluarga besar Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Sleman yang di fasilitasi oleh Kantor Kesatuan Bangsa Dan Perlindungan Masyarakat Sleman. Kenapa ke Bali, selain sebagai daerah pariwisata juga terkenal dengan sebutan God’s island (pulau dewata). Di tengah mayoritas penduduknya yang beragama hindu dan kuatnya tradisi masyarakat, ternyata masyarakatnya memiliki kesadaran yang tinggi untuk lebih terbuka terhadap keyakinan lain seperti islam, kristen, katolik, hindu dan budha. Hal ini tercemin pada masyarakat dikawasan bukit Kampial Nusa Dua, Bali. Disini terdapat miniatur kerukunan hidup beragama yang disebut dengan “Puja Mandala”. Keunikan kompleks puja mandala itulah yang membuat kami tertarik untuk memilih judul tersebut pada artikel kali ini. 

Puja Mandala adalah sebuah kompleks tempat bangunan peribadatan indah di kawasan pelataran bukit Kampial Nusa Dua, Bali, tempat Ini juga menjadi cerminan kerukunan antar umat beragama yang hidup saling berdampingan dan penuh toleransi. Dalam kompleks ini berdiri 5 tempat ibadah yang terdiri dari Masjid Ibnu Batutah (islam), Gereja Maria Bunda Begala Bangsa (katolik), Wihara Guna (budha), GKPD Jemaat Bukit Dua (Protestan), Pura Jagat Natha (hindu). Seluruhnya tertata rapi, berdiri anggun, megah, dan tinggi bangunan yang rata dan sejajar, memiliki nilai estetika dan spritual tentunya. 

Tepat pukul 15.20 Waktu Indonesia Tengah, bertepatan pula dengan adzan ashar berkumandang dari Masjid Ibnu Batutah komplek puja mandala ini, satu persatu jamaah mulai masuk masjid, dari kejauhan terdengar riuh anak-anak belajar di lantai dasar masjid yang dijadikan komplek pendidikan Islam. Penulis bersama rombongan mendapatkan informasi dari pengurus takmir melalui pengeras suara bahwa jamaah perempuan berjalan kekiri untuk mengambil air wudhlu sedangkan jamaah laki-laki diarahkan ke kanan dari masjid. Kamipun kemudian masuk ke Masjid untuk menunggu selesainya sholat jamaah ashar (karena status musafir sholat jamaah sendiri) untuk melakukan sholat dhuhur dan ashar sekaligus dengan di jamak dan qoshor. Setelah selesai menunaikan kewajiban sholat penulis mencoba melakukan wawancara dengan salah seorang jamaah lokal untuk melengkapi data yang telah diperoleh dari kunjungan kami di FKUB Kabupaten Badung pagi harinya. Dari data yang kita peroleh, Kawasan Puja Mandala ini diresmikan pada tanggal 22 Desembar 1997. Alasan dibangunnya komplek Puja Mandala ini karena minimnya tempat Ibadah khususnya umat Muslim di kawasan Nusa Dua. Selain untuk kebutuhan warga muslim di kawasan Nusa Dua dan sekitarnya, masjid ini juga banyak dikunjungi wisatawan yang hendak menunaikan Ibadah sholat lima waktu di sela-sela liburannya. Kebanyakan masyarakat sekitar Nusa Dua ini bukan merupakan penduduk asli Bali akan tetapi, kebanyakan dari mereka adalah orang yang berasal dari Pulau jawa. Menurut narasumber yang kita wawancarai yaitu, awal mula pembangunan kompleks ini ada berbagai macam sikap dari masyarakat. Ada yang postif dan ada juga yang negatif. Sisi positif berdirinya kawasan peribadatan tersebut adalah semakin ramainya pengunjung di daerah Nusa Dua dan sisi negatifnya adalah akses jalannya terganggu. Sikap toleransi mereka tercemin pada saat umat islam melaksanakan ibadah shalat jumat, mereka tidak malaksanakan di masjid akan tetapi di lapangan. Masjid ini berkapasitas sekitar 3000 orang. Fungsi masjid selain untuk tempat beribadah yaitu sebagai tempat belajar mengaji . 

Kini, Puja Mandala menjelma menjadi miniatur kerukunan hidup beragama di Indonesia: sebuah relasi harmonis yang sungguh hidup dan dinamis, lahir dari relung jati diri masyarakat pendukungnya. Keberadaannya bukan sebatas simbol kaku, tak terawat serta sekedar artifisial semata. Di halaman kompleks Puja Mandala toleransi hakiki terjalin dalam suasana informal, lumrah, dan terinternalisasi dalam keseharian hidup. Di sini, perayaan ekaristi seringkali diselingi suara adzan magrib, atau shalat Jumat tetap digelar walau tanpa pengeras suara pada saat Hari Raya Nyepi. Hanya di sini pula, rumah – rumah ibadat itu dibangun tanpa sekat pemisah, memiliki satu halaman, cermin kebhinekaan yang ika.. Wallahu a'lam bisowab