Refleksi Kerukunan Umat Beragama Peran FKUB Di Yogyakarta

- February 29, 2016

Refleksi Kerukunan Umat Beragama
Peran FKUB Di Yogyakarta



Oleh:
Wiratno, SE.,MM.
Pengurus FKUB Kab. Sleman



Konstelasi kerukunan umat beragama di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2015 cukup kondusif dan mengalami sedikit peningkatan harmonisasi hubungan antar umar beragama dibandingkan pada tahun 2014 yang ditandai dengan menurunnya kasus-kasus intoleran dan disharmoni yang terjadi, hal ini disampaikan oleh pengurus FKUB Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam
Rakorda KUB yang diselenggarakan oleh Bagian Hukum dan KUB Kantor Wilayah Kementrian Agama DIY pada hari Sabtu, 27 Februari 2016, kebetulan penulis mengikuti kegiatan tersebut mewakili utusan FKUB Kabupaten Sleman. Peningkatan kerukunan umat beragama juga disampaikan oleh pengurus-pengurus FKUB kabupatan/kota yang hadir, kecuali dari Kabupaten Gunungkidul yang mengalami peningkatan kasus disharmoni dan intoleran, namun dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Peran FKUB dalam banyak penyelesaian banyak kasus-kasus disharmoni yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta cukup dominan.
Sebagai organisasi kemasyarakatan yang berbasis pada pemuliaan nilai-nilai agama, FKUB memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis dalam berperan serta membangun daerah masing-masing kabupaten/kota ditengah krisis multidimensional yang tengah terjadi. Pertama-tama peran strategis FKUB dalam pelaksanaan PBM khususnya dan kerukunan umat beragama pada umumnya terlihat dalam tugas FKUB sebagaimana diatur dalam PBM Pasal 9 ayat (1) dan (2), yaitu sebagai berikut:
  1. Melakukan dialog dengan tokoh agama dan masyarakt. Tugas ini dibebankan baik kepada FKUB propinsi maupun kabupaten/kota. Dengan dukungan pemerintah daerah, tugas ini pada umumnya telah dilaksanakan dengan baik oleh FKUB, terutama dalam bentuk dialog-dialog resmi dan pertemuan-pertemuan resmi. Sesungguhnya dialog itu tidak terbatas dalam pertemuan resmi, sebagiannya dapat terjadi dalam kunjungan-kunjungan FKUB ke pusat-pusat keagamaan setempat baik rumah ibadat maupun lembaga pendidikan serta lembaga-lembaga social (panti asuhan) yang dikelola oleh lembaga-lembaga agama. Bahkan sebagian dialog tentu mengambil bentuk dialog perseorangan antar sesama anggota FKUB itu sendiri dalam berbagai kesempatan interaksi antar sesama mereka maupun dengan masyarakat. Persoalannya di sini ialah apakah kita sudah mendata semua dialog yang telah kita lakukan itu dan seberapa banyak kegiatan dialog itu dianggap memadai? Memang tidak ada ukurannya. Mungkin salah satu ukurannya ialah sepanjang dialog-dialog itu sanggup menjaga keadaan sehingga tidak terjadi gangguan kerukunan umat beragama di daerah itu. Dari segi isinya, tentu perlu ada perencanaan yang jelas mengenai dialog-dialog itu agar tidak terasa berputar pada tema yang sama, melainkan harus berkembang ke arah kerjasama.
  2. Menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat. Tugas ini juga diberikan kepada FKUB propinsi dan kabupaten/kota. Tugas ini dapat diduga telah dilaksanakan juga, tetapi lebih sulit menginventarisir dan mengevaluasinya. Sekurangnya, dikarenakan keanggotaan FKUB adalah mewakili majlis-majlis agama maka setidaknya aspirasi majlis-majlis agama sebagai ormas telah ditampung oleh FKUB.
  3. Menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan kepala daerah. Tugas ini pun dibebankan kepada FKUB propinsi dan FKUB kabupaten/kota. Evaluasi terhadap tugas ini pun tidak mudah, tetapi sekurang-kurangnya dapat dilakukan dengan cara melihat seberapa jauh forum-forum Musyawarah Daerah dan Rapat Kordinasi yang diselenggarakan FKUB selama ini telah merumuskan rekomendasi yang kemudian disampaikan secara resmi kepada kepala daerah.
  4. Melakukan sosialisasi peraturan-perundangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat. Tugas ini pun dibebankan baik kepada FKUB propinsi maupun FKUB kabupaten/kota. Tugas ini jelas telah dilaksanakan oleh FKUB-FKUB propinsi dan kabupaten/kota. Evaluasinya yang perlu dilakukan mungkin menyangkut pentahapan dan kontinuitas pelaksanaannya, pemetaan sasarannya, dan seberapa jauh keberhasilannya, selain soal siapa pelaku sosialisasinya, apa saja materi sosialisasinya dan bagaimana metode sosialisasi yang digunakan.
  5. Memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat. Tugas ini hanya dibebankan kepada FKUB Kabupaten/Kota. Tugas ini pun telah dilaksanakan oleh FKUB Kabu paten/Kota. Evaluasi yang perlu dilakukan mungkin menyangkut inventarisasi jumlah permohonan rekomendasi yang diajukan setiap tahunnya dan jumlah yang telah diberikan rekomendasinya, apakah rekomendasi itu telah dibuat dengan cara yang benar sesuai PBM (harus dalam bentuk tertulis, hasil keputusan rapat FKUB, dan keputusan itu tidak diambil dengan cara voting), apakah sebelum pembahasan rekomendasi dalam rapat FKUB telah dilakukan kunjungan lapangan terlebih dahulu oleh tim FKUB ke lokasi yang diusulkan pendirian rumah ibadatnya itu, apakah segala persyaratan formal dan administrative yang telah diatur dalam PBM dipenuhi, apakah aspirasi masyarakat sekitar ditelusuri, dan apakah antar sesama lembaga pemberi rekomendasi (FKUB dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota) telah menjalankan tugasnya masing-masing secara independen (tidak main mata) sehingga pemerintah memperoleh masukan yang benar.